Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 25]
Selasa, 16 Januari 2018

Bismillah.

Alhamdulillah dengan taufik dari Allah semata, kita kembali bisa dipertemukan untuk bersama-sama melanjutkan seri mengenal tauhid dengan mematik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Masih dalam pembahasan keutamaan tauhid dan dosa-dosa yang terhapuskan dengannya.

Setelah membawakan hadits Itban bin Malik radhiyallahu’anhu yang menyatakan bahwa Allah mengharamkan neraka bagi orang yang dengan ikhlas mengucapkan laa ilaha illallah, penulis Kitab Tauhid pun menyebutkan dalil berikutnya yang menunjukkan keutamaan tauhid.

Dalil yang dimaksud adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Musa berkata, “Wahai Rabbku, ajarkanlah kepadaku sebuah bacaan untuk aku gunakan berdzikir dan berdoa kepada-Mu.” Allah menjawab, “Ucapkanlah wahai Musa, laa ilaha illallah.” Musa menjawab, “Wahai Rabbku, semua hamba-Mu mengucapkan kalimat itu.” Allah pun berfirman, “Wahai Musa, seandainya langit yang tujuh beserta penduduknya selain Aku, begitu pula bumi yang tujuh diletakkan di dalam sebuah daun timbangan, lantas laa ilaha illallah di sebuah daun timbangan yang satunya, niscaya lebih berat ucapan laa ilaha illallah.” (HR. Ibnu Hibban dan al-Hakim dan beliau menilainya sahih)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa keutamaan sebagaimana yang digambarkan dalam hadits ini dan hadits lain yang serupa -yang mengisahkan seorang yang membawa kartu bertuliskan laa ilaha illallah dengan membawa dosa yang begitu banyak- bahwa tauhid bisa lebih berat daripada timbangan langit dan bumi atau timbangan dosa yang begitu banyak itu hanya berlaku bagi orang yang kalimat tauhid itu tertancap kuat di dalam hatinya dimana dia sangat ikhlas di dalam mengucapkan dan mengamalkannya, selalu membenarkan dan tidak menyimpan keraguan barang sedikitpun tentang kandungan ajarannya, meyakini ajaran yang terdapat di dalamnya, dan mencintai konsekuensi dari kalimat tauhid itu sehingga kuatlah pengaruh kalimat itu di dalam hatinya dan menerangi nuraninya, maka tauhid semacam itulah yang bisa membakar dosa-dosa yang dihadapi. Adapun orang yang hatinya tidak ikhlas dalam mengucapkan dan mengamalkan kandungannya maka gulungan-gulungan catatan dosa tidak bisa degan serta-merta terkalahkan oleh timbangan kalimat tauhidnya (lihat Syarh Fath al-Majid, 1/139)

Oleh sebab itulah –wallahu a’lam– mengapa Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah mencantumkan hadits ini setelah hadits Itban bin Malik. Karena di dalam hadits Itban bin Malik telah terdapat penegasan bahwa keutamaan yang diperoleh itu disyaratkan harus berasal dari orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas mengharap wajah Allah. Sehingga kalimat tauhid yang lebih berat timbangannya dari langit dan bumi adalah kalimat tauhid yang diucapkan oleh orang yang ikhlas, bukan orang munafik, apalagi orang yang musyrik.

Kedudukan Amalan Hati

Yang demikian itu karena sesungguhnya amal-amal itu berbeda-beda keutamaannya tergantung pada apa-apa yang bersemayam di dalam hati pelakunya. Bisa jadi suatu amalan bentuknya sama tetapi nilainya di hadapan Allah seperti antara langit dan bumi. Amal-amal itu tidak berbeda tingkat keutamaannya hanya karena bentuk atau rupa dan jumlahnya, tetapi lebih dominan dipengaruhi oleh sesuatu yang tertanam di dalam hati (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 33-34)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada seseorang sembari menasihatinya, “Hati-hatilah kamu wahai saudaraku, dari riya’ dalam ucapan dan amalan. Sesungguhnya hal itu adalah syirik yang sebenarnya. Dan jauhilah ujub, karena sesungguhnya amal salih tidak akan terangkat dalam keadaan ia tercampuri ujub.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 578)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas dari ujub…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam, hal. 83)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ terkandung tauhid uluhiyah yaitu mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba yang disyari’atkan oleh Allah untuk mereka, karena uluhiyah bermakna ibadah. Dan ibadah itu adalah bagian dari perbuatan hamba. Adapun ‘wa iyyaka nasta’in’ mengandung tauhid rububiyah. Karena pertolongan adalah salah satu perbuatan Rabb Yang Maha Suci. Dan tauhid rububiyah itu adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 195)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa uluhiyah maknanya adalah beribadah kepada Allah dengan mencintai-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, menaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Oleh sebab itu tauhid uluhiyah artinya mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba yang telah disyari’atkan oleh-Nya bagi mereka (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 28-29)

Tumpuan Cinta dan Harapan

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa ada empat hal yang dibutuhkan oleh setiap insan: [1] Sesuatu yang dicintai dan dituntut keberadaannya, [2] Sesuatu yang dibenci dan dituntut ketiadaannya, [3] Sarana untuk mendapatkan apa yang disenangi dan diinginkan tersebut, [4] Sarana untuk menolak perkara yang dibenci. Keempat hal ini sangat mendesak diperlukan oleh setiap hamba, bahkan binatang sekalipun, sebab keberadaan mereka tidak akan sempurna dan baik tanpa itu semua (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40).

Apabila hal itu telah jelas, patut untuk disadari oleh kita bahwasanya Allah ta’ala adalah dzat yang paling layak untuk dicintai dan diharapkan. Sehingga seorang hamba akan senantiasa mencari keridhaan-Nya dan berusaha sekuat tenaga untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sementara, Allah juga yang mampu menolongnya untuk terwujudnya itu semua. Adapun, penghambaan dan ketergantungan hati kepada selain-Nya adalah sesuatu yang dibenci dan membahayakan hamba. Sementara, hanya Allah yang mampu menolongnya untuk menolak bahaya itu darinya. Ini artinya, pada diri Allah ta’ala terkumpul keempat perkara yang diperlukan oleh manusia (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40).

Dari sinilah, kita bisa mengerti bahwa sesungguhnya tiada kebahagiaan bagi hati, kelezatan yang hakiki, kenikmatan dan kebaikan yang sejati untuknya tanpa menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, satu-satunya pencipta, dan menjadikan-Nya sebagai puncak harapan dan kecintaan, yang lebih dicintai oleh seorang hamba daripada segala sesuatu (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40)

Oleh sebab itu, kebaikan dan kebahagiaan seorang hamba sangat bergantung pada perjuangannya dalam mewujudkan kandungan ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’. Ayat ini menggambarkan bahwa Allah adalah dzat yang paling dicari dan dikehendaki. Ia juga menunjukkan bahwa Allah semata yang paling berhak dimintai pertolongan guna meraih apa yang dikehendaki hamba-Nya. Bagian yang pertama -Iyyaka na’budu- mengandung pokok tauhid uluhiyah, sedangkan bagian kedua -Iyyaka nasta’in- mengandung pokok tauhid rububiyah (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 41)

Pengaruh Dzikir dan Hidayah

Tidak ada kehidupan bahagia tanpa iman. Sebagaimana tidak ada kehidupan bagi hati tanpa dzikir dan ketaatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perbandingan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu dzikir kepada Allah jalla wa ‘ala merupakan hakikat kehidupan hati. Tanpanya, hati pasti menjadi mati.” (lihat Fawa’id adz-Dzikri wa Tsamaratuhu, hal. 16)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya dzikir kepada Allah akan menanamkan pohon keimanan di dalam hati, memberikan pasokan gizi dan mempercepat pertumbuhannya. Setiap kali seorang hamba semakin menambah dzikirnya kepada Allah niscaya akan semakin kuat pula imannya.” (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 57)

Syaikhul Islam Abul ‘Abbas al-Harrani rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Maka bagaimanakah kiranya keadaan seekor ikan apabila memisahkan dirinya dari air?” (lihat al-Wabil ash-Shayyib karya Imam Ibnul Qayyim, hal. 71)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sebagaimana Allah subhanahu menjadikan hidupnya badan dengan sebab makanan dan minuman, maka kehidupan hati itu akan terwujud dengan terus-menerus berdzikir, selalu inabah/bertaubat dan taat kepada Allah, dan meninggalkan dosa-dosa.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim min Kalam Ibnil Qayyim, 1/118)

Sebagaimana bumi yang mati menjadi hidup kembali dengan siraman air hujan dari langit maka demikian pula hati yang mati dan keras akan menjadi hidup dan bercahaya dengan siraman petunjuk dan taufik dari Rabb penguasa langit dan bumi.

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka demikian pula hati; tidak akan mungkin dia menjadi hidup dan merasakan kelezatan hidup serta menikmatan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kecuali dengan al-Qur’an ini. Tanpa al-Qur’an dan tanpa beramal dengannya maka seorang insan hanya akan menjalani kehidupan ini seperti kehidupan binatang, bukan kehidupan yang hakiki.” (lihat Hablullah al-Mamdud, hal. 9)

Tanda hati yang hidup adalah khusyu’ ketika berdzikir kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyu’ hati mereka karena mengingat Allah dan menerima kebenaran yang diturunkan. Janganlah mereka itu seperti orang-orang yang telah diberikan al-Kitab sebelumnya; berlalu masa yang panjang sehingga keraslah hati mereka, dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Hadid: 16) (lihat Mausu’ah Fiqh al-Qulub, hal. 1298)

Penghapus Dosa-Dosa

Berikutnya, Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan hadits Anas bin Malik mengenai keutamaan tauhid sebagai sebab diampuninya dosa-dosa walaupun dosa itu banyak sekali sampai-sampai hampir memenuhi bumi. Anas berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai anak Adam, seandainya kamu datang kepadaku dengan dosa sepenuh bumi kemudian kamu berjumpa dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan dengan-Ku sesuatu apapun pasti Aku akan mendatangkan kepadamu ampunan sepenuh itu pula.”.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilai hadits ini berderajat hasan).

Di dalam hadits qudsi ini Allah memberitakan kepada kita bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan memurnikan tauhidnya kepada Allah serta meninggalkan segala macam syirik niscaya Allah akan memberikan ampunan kepadanya meskipun dosanya sepenuh bumi atau hampir sepenuh bumi (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 43)

Meninggal dalam keadaan bersih dari segala bentuk perbuatan syirik -apakah itu syirik besar atau kecil, banyak atau sedikit- adalah sebuah syarat yang tidak ringan. Tidak ada yang bisa terbebas dari syirik kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah (lihat ad-Durr an-Nadhidh, hal. 33)

Hadits yang agung ini menunjukkan betapa luasnya kemurahan dan kedermawanan Allah serta banyaknya pahala tauhid dan bahwa ia merupakan sebab terhapusnya dosa-dosa. Dan yang dimaksud tauhid di sini adalah tauhid yang murni sehingga tidak terkotori oleh syirik sedikit pun (lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid, hal. 35)

Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran yang sangat penting yaitu menjadi dalil yang membantah pemahaman Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar yang berada di bawah tingkatan syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 33)

Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidak cukup diucapkan dengan lisan. Akan tetapi ia harus diyakini dengan hati dan melakukan konsekuensinya yaitu meninggalkan berbagai bentuk syirik sedikit ataupun banyak. Sementara tidak akan bisa selamat dari syirik kecuali orang-orang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya dan memenuhi syarat-syarat kalimat tauhid yaitu; mengetahui maksudnya, meyakininya, jujur dalam mengucapkannya, ikhlas, mencintai isinya, menerima dan patuh padanya dan mewujudkan hal-hal lain yang menjadi konsekuensi atasnya (lihat Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 22)

Dari sinilah kita bisa mengetahui letak penting belajar tauhid. Karena tauhid adalah sebab utama untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa. Dan ini juga berarti bahwa tauhid adalah syarat utama untuk bisa masuk ke dalam surga. Namun, bukan berarti bahwa orang yang bertauhid boleh meremehkan dosa. Sebab dosa-dosa itu merupakan saluran-saluran yang akan mengantarkan manusia pada kekafiran dan kerusakan iman.

Semakin orang memahami tauhid tentunya ia akan semakin mengagungkan Allah dan semakin takut akan hukuman-Nya. Ia menganggap dosa sebagai perkara besar yang bisa mencelakakan dirinya. Adapun orang yang meremehkan dosa itu menunjukkan bahwa tauhid di dalam dirinya masih lemah. Oleh sebab itu kita dapati manusia terbaik panutan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sering beristighfar karena beliau menganggap bahwa sekecil apapun kesalahan maka itu akan merusak penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ya Allah, Ampuni Dosaku…

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menyebutkan di dalam bukunya Fiqh al-Ad’iyyah wal Adzkar (3/149) sebuah doa yang sering dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sujudnya, yaitu beliau membaca ‘Allahummaghfir lii dzanbii kullah, diqqahu wa jillah, awwalahu wa aakhirah, wa ‘alaaniyyatahu wa sirrah’ artinya, “Ya Allah, ampunilah dosaku semuanya; yang kecil maupun yang besar, yang awal hingga yang terakhir, yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Salah satu bacaan doa yang diajarkan untuk dibaca ketika sholat -bisa dibaca ketika sujud atau setelah tasyahud- ialah doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Doa itu berbunyi ‘Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa, wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta, faghfir lii maghfiratan min ‘indik war-hamnii, innaka antal ghafuurur rahiim’ artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman. Dan tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Engkau. Oleh sebab itu ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Fiqh al-Ad’iyyah wal Adzkar oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, 3/158)

Telah menjadi kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai dari suatu majelis/pertemuan beliau pun berdoa di akhirnya, ‘Sub-haanakallahumma wabihamdika asyhadu anlaa ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik’ artinya, “Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan senantiasa memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Engkau, aku mohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani dalam Sahih at-Targhib) (lihat Fiqh al-Ad’iyyah wal Adzkar, 3/305)

Bahkan, menjelang wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah memohon ampunan dari-Nya. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu’anha bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa menjelang wafatnya, ‘Allahummaghfirlii war-hamnii, wa al-hiqnii bir rafiiqil a’laa’ artinya, “Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku, dan kumpulkanlah diriku bersama ar-Rafiq al-A’la (teman-teman yang termulia).” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Fiqh al-Ad’iyyah wal Adzkar, 3/226)

Wahai saudaraku -semoga Allah berikan taufik kepada kami dan anda- lihatlah bagaimana manusia yang paling berilmu dan paling bertakwa seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Padahal beliau adalah beliau…. Lalu bagaimana lagi dengan kita ini; bukankah kita lebih butuh kepada istighfar dan taubat?!

Masih Hidupkah Hatimu?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sebagaimana Allah subhanahu menjadikan hidupnya badan dengan sebab makanan dan minuman, maka kehidupan hati itu akan terwujud dengan terus-menerus berdzikir, selalu inabah/bertaubat dan taat kepada Allah, dan meninggalkan dosa-dosa.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim min Kalam Ibnil Qayyim, 1/118)

Adapun hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal Rabbnya. Tidak beribadah kepada Allah dengan perintah dan ajaran-Nya. Dia hanya berhenti menuruti keinginan dan hawa nafsunya, meskipun hal itu beresiko mendatangkan murka dan kemarahan Rabbnya. Dia tidak peduli apakah Allah ridha atau murka; yang terpenting baginya meraih kepuasan nafsunya. Apabila dia mencintai maka cintanya demi menuruti hawa nafsu. Demikian pula apabila membenci pun karena mengikuti hawa nafsu. Apabila dia memberi maka itu pun demi hawa nafsu. Dan apabila tidak memberi itu juga karena hawa nafsunya. Maka baginya hawa nafsu lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridhaan Tuhannya. Hawa nafsu adalah imamnya, syahwat adalah panglimanya, kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraannya (lihat keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam al-Majmu’ al-Qayyim min Kalam Ibnil Qayyim, 1/123)

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Terkadang hati itu sakit dan semakin parah penyakitnya sementara pemiliknya tidak sadar, karena dia sibuk dan berpaling dari mengetahui hakikat kesehatan hati dan sebab-sebab yang bisa mewujudkannya. Bahkan, terkadang hati itu mati sedangkan pemiliknya tidak menyadari. Tanda kematian hati itu adalah tatkala berbagai luka akibat dosa/keburukan tidak lagi menyisakan rasa perih dan pedih di dalam hati. Demikian pula, tatkala kebodohan tentang kebenaran dan ketidaktahuan dirinya tentang akidah-akidah yang batil tidak lagi membuatnya merasa kesakitan. Sebab, hati yang hidup akan merasakan perih apabila ada sesuatu yang jelek dan nista yang merasuki jiwanya, dan ia akan merasa kesakitan akibat tidak mengetahui kebenaran; hal ini akan bisa dirasakan berbanding lurus dengan tingkat kehidupan yang ada di dalam hatinya.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/131)

Demikian sedikit catatan faidah yang bisa disajikan, semoga bermanfaat.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-25/